Senin, 01 Juni 2009

GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Stratigrafi Regional

Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng Hindia. Secara Geografis Sub Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh di sebelah utara, Tinggian Lampung di bagian selatan, Paparan Sunda di sebelah timur, dan Bukit Barisan di sebelah barat.

Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan kipas alluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja) pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut dalam.

Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan, pumice dan konglemerat.

Batuan Dasar

Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi batuan filit.

Formasi Lahat
Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa.
Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :

Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m.

Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh kuarsa.

Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar.

Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.

Formasi Talang Akar

Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.

Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m – 850 m.

Formasi Baturaja

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal.

Formasi Gumai
Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.

Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam.

Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah.

Formasi Air Benakat

Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal.

Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit.

Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.

Formasi Kasai
Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan.

Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan.

Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.

Sedimen Kuarter

Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik berwarna gelap.

Satuan ini berumur resen.

Minggu, 05 April 2009

Geologi dan Geomorfologi Gunung Sewu

Karst Gunung Sewu tersusun oleh batugamping berumur Miosen Tengah hingga Pliosin Atas yang disebut Formasi Wonosari dan Formasi Oyo (Bote, 1929). Batugamping tersebut terdiri dari batugamping koral masif pada bagian selatan dan batugamping berlapis pada bagian utara (Rahadjo et al., 1995). Ketebalan total batugamping lebih dari 650 m. Litologi batugamping koral sangat bervariasi, tetapi yang mendominasi batugamping ini adalah rudstones, packstones, dan framestones. Batuan dasar dari Formasi Formasi Wonosari dan Formasi Oyo berupa batuan vulkanik dan vulkanik klastik berumur Oligosen-Miosen (Formasi Semilir, Nglanggran, Sambipitu, Jaten, Wuni, Nampol). 

Formasi ini ditemukan di beberapa lokasi menjadi dasar dari karst Gunung Sewu. Formasi Wonosari dan Formasi Oyo mengalami pengangkatan mulai permulaan Zaman Kuarter, membentuk tebing terjal (clif) yang tinggi (25-100 m) sepanjang tepi selatan (Balazs 1968; van Bemmelen 1970; Surono et al. 1992; Sutoyo 1994). Tekanan utara-selatan akibat pertemuan lempeng tektonik yang menghasilkan deformasi intensif menghasilkan patahan dan kekar timurlaut-baratdaya, baratlaut-tenggara, utara-selatan, dan barat-timur (Balazs 1968; van Bemmelen 1970; Surono et al. 1992; Sutoyo 1994, Haryono, et al., 2005).

Peta Geologi kawasan Karst Gunung Sewu ditunjukkan pada Lampiran 2. Secara fisiografi Karst Gunung Sewu merupakan bagian dari Pegunungan Selatan Pulau Jawa (van Bemmelen, 1970). Pegunungan Selatan dihasilkan dari proses pengangkatan yang terjadi mulai sejak Akhir Tersier atau permulaan Kuarter. Bagian utara dari Pegunungan Selatan dipisahkan dari zona depresi pulau Jawa oleh patahan. Gunung Sewu sendiri dicirikan oleh bukit-bukit karst. 

Di sisi utara, Karst Gunung Sewu mengalami pelengkungan dan persesaran yang membentuk Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno. Di kedua depresi tersebut, proses karstifikasi terbatas dan permukaannya ditutupi oleh tanah lempungan dengan ketebalan mencapai 10 m (Waltham et al. 1983, Samodra, 1983). Morfologi karst yang berkembang di Karst Gunung Sewu adalah tipe cone karst atau Kegel karst. Bentuk ini pertama kali diperkenalkan oleh Lehman (1936) dan diberi nama Tipe Gunung Sewu. 

Dalam Haryono dan Day (2004) Kegel Karst Gunung Sewu dibagi dalam tiga kategori yaitu karst labirin, karst residual dan karst poligonal. Karst labirin Gunung Sewu dicirikan dengan perkembangan lembah yang tidak teratur, dan secara dominan dikendalikan oleh patahan atau sesar mayor. Poligonal karst dicirikan oleh bukit-bukit karst dan lembah yang saling berhubungan membentuk morfologi cockpit. Karst residual ditandai dengan bukit yang terisolasi. Morfologi karst ini terbentuk oleh batugamping yang memiliki resistensi yang rendah sehingga tingkat pelarutannya tinggi.

Sabtu, 04 April 2009

Macam-macam Proses Endogen

Seperti yang telah anda ketahui pada postingan sebelumnya proses endogenik merupakan proses pembentukan bentang alam yang disebabkan tenaga dari dalam kulit bumi.

Proses ini dibedakan menjadi :

    1. Diastropisme, yaitu proses deformasi besar-besaran dari bumi. Proses ini dibedakan menjadi :

- Epirogenik, yaitu pengangkatan dan penurunan kontinen atau subkontinen, maksudnya yaitu epirogenik merupakan gerak yang dapat menimbulkan permukaan bumi seolah turun atau naik, disebabkan karena gerakan di bumi yang lambat dan meliputi daerah yang luas gerak epirogenetik di bedakan menjadi dua, yaitu gerak epirogenetik positif dan gerak epirogenetik negatif. Gerak epirogenetik positif adalah gerakan permukaan bumi turun dan seolah olah permukaan air laut naik. Contoh, turunya pulau-pulau di kawasan Indonesia timur (Kepulauan Maluku dan kepulauan Benda. Gerak epirogenetic negatif adalah gerakan permukaan bumi seolah-olah permukaan bumi naik dan seolah olah permukaan air turun. Contoh, naiknya dataran tinggi Colorado

- Orogenetik, yaitu proses pembentukan pegunungan. Gerak orogenetik ini dapat menimbulkan lipatan (fold), patahan (fault) dan kekar. Untuk penjelasan mengenai lipatan, patahan, dan kekar akan kita bahas nanti.

Gambar lipatan

b. Vulkanisme, yaitu proses naik dan munculnya magma ke permukaan bumi. Proses terjadinya vulkanisme dipengaruhi oleh aktivitas magma yang menyusup ke lithosfer. Jika magma hanya menyusup sebatas kulit bumi bagian dalam atau tidak sampai keluar dinamakan intrusi magma. Sedangkan penyusupan magma sampai keluar permukaan bumi disebut ekstrusi magma. Dalam proses ini terjadi pendinginan magma yang akan membentuk batuan

Tekstur Khusus Batuan Metamorf

Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari batuan induk yang lain, dapat berupa batuan beku, batuan sedimen, maupun batuan metamorf sendiri yang telah mengalami proses/perubahan mineralogi, tekstur maupun struktur sebagai akibat pengaruh temperatur dan tekanan yang tinggi.

Proses metamorfosa terjadi dalam fasa padat, tanpa mengalami fasa cair, dengan temperatur 200oC – 6500C. Menurut Grovi (1931) perubahan dalam batuan metamorf adalah hasil rekristalisasi dan dari rekristalisasi tersebut akan terbentuk kristal-kristal baru, begitupula pada teksturnya.

Menurut H. G. F. Winkler (1967), metamorfisme adealah proses yang mengubah mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh terhadap kondisi fisika dan kimia dalam kerak bumi, dimana kondisi tersebut berbeda dengan sebelumnya. Proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan diagenesa.

Batuan metamorf atau batuan malihan adalah batuan yang terbentuk akibat proses perubahan temperatur dan/atau tekanan dari batuan yang telah ada sebelumnya. Akibat bertambahnya temperatur dan/atau tekanan, batuan sebelumnya akan berubah tektur dan strukturnya sehingga membentuk batuan baru dengan tekstur dan struktur yang baru pula. Contoh batuan tersebut adalah batu sabak atau slate yang merupakan perubahan batu lempung. Batu marmer yang merupakan perubahan dari batu gamping. Batu kuarsit yang merupakan perubahan dari batu pasir.Apabila semua batuan-batuan yang sebelumnya terpanaskan dan meleleh maka akan membentuk magma yang kemudian mengalami proses pendinginan kembali dan menjadi batuan-batuan baru lagi.

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi, metamorfosa dapat dibedakan menjadi dua:

1. Metamorfosa Lokal

Jenis ini penyebaran metamorfosanya sangat terbatas hanya beberapa kilometer saja. Termasuk dalam tipe metamorfosa ini adalah:

    • Metamorfosa kontak/thermal
      Yaitu metamorfosa yang diakibatkan oleh kenaikan temperatur yang tinggi, dan biasanya jenis ini ditemukan pada kontak antara tubuh intrusi magma/ekstrusi dengan batuan di sekitarnya dengan lebar 2 – 3 km. Salah satu contohnya pada zona intrusi yang dapat menyebabkan pertambahan suhu pada daerah disekitar intrusi.

Gambar 1.intrusi magma

    • Metamorfosa dinamo/dislokasi/kataklastik
      Yaitu metamorfosa yang diakibatkan oleh kenaikan tekanan. Tekanan yang berpengaruh disini ada dua macam, yaitu: hidrostatis, yang mencakup ke segala arah; dan stress, yang mencakup satu arah saja. Makin dalam ke arah kerak bumi pengaruh tekanan hidrostatika semakin besar. Sedangkan tekanan pada bagian kulit bumi yang dekat dengan permukaan saja, metamorfosa semacam ini biasanya didapatkan di daerah sesar/patahan.
Gambar 2. zona sesar


  1. Metamorfosa Regional
    Tipe metamorfosa ini penyebarannya sangat luas, dapat mencapai beberapa ribu kilometer. Termasuk dalam tipe ini adalah:
    • Metamorfosa regional/dinamothermal
      Terjadi pada kulit bumi bagian dala, dimana faktor yang mempengaruhi adalah temperatur dan tekanan yang tinggi. Proses ini akan lebih intensif apabila diikuti oleh orogenesa.
Gambar 3. Zona Subduksi

    • Metamorfosa beban/burial
      Proses ini tidak ada hubungannya dengan orogenesa dan intrusi, tetapi terjadi pada daerah geosinklin, hingga karena adanya pembebanan sedimen yang tebal di bagian atas, maka lapisan sedimen yang ada di bagian bawah cekungan akan mengalami proses metamorfosa.

Gambar 4. Cekungan sedimentasi

Batuan metamorf menyusun sebagian besar dari kerak Bumi dan digolongkan berdasarkan tekstur dan dari susunan kimia dan mineral (fasies metamorf) Mereka terbentuk jauh dibawah permukaan bumi oleh tegasan yang besar dari batuan diatasnya serta tekanan dan suhu tinggi. Mereka juga terbentuk oleh intrusi batu lebur, disebut magma, ke dalam batuan padat dan terbentuk terutama pada kontak antara magma dan batuan yang bersuhu tinggi.Penelitian batuan metamorf (saat ini tersingkap di permukaan bumi akibat erosi dan pengangkatan) memberikan kita informasi yang sangat berharga mengenai suhu dan tekanan yang terjadi jauh di dalam permukaan bumi.Tekstur merupakan kenampakan batuan yang berdasarkan pada ukuran, bentuk dan orientasi butir mineral individual penyusun batuan metamorf (Jackson, 1970). Berikut adalah macam-macam tekstur batuan metamorf


Tekstur Berdasarkan Ketahanan Terhadap Proses Metamorfosa

o Relict/Palimpset/Sisa; masih menunjukkan sisa tekstur batuan asalnya. Awalan blasto digunakan untuk penamaan tekstur batuan metamorf ini. Batuan yang mempunyai kondisi seperti ini sering disebut batuan metabeku atau metasedimen.

o Kristaloblastik; terbentuk oleh sebab proses metamorfosa itu sendiri. Batuan dengan tekstur ini sudah mengalami rekristalisasi sehingga tekstur asalnya tidak tampak. Penamaannya menggunakan akhiran blastik.

· Tekstur Berdasarkan Ukuran Butir

o Fanerit; butiran kristal masih dapat dilihat dengan mata.

o Afanit; butiran kristal tidak dapat dilihat dengan mata.

· Tekstur Berdasarkan Bentuk Individu Kristal

o Euhedral; bila kristal dibatasi oleh bidang permukaan kristal itu sendiri.

o Subhedral; bila kristal dibatasi sebagian oleh bidang permukaannya sendiri dan sebagian oleh bidang permukaan kristal di sekitarnya.

o Anhedral; bila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan kristal lain di sekitarnya.

o Idioblastik; bila mineralnya didominasi oleh kristal berbentuk euhedral.

o Hypidioblastik; bila mineralnya didominasi oleh kristal berbentuk subhedral

o Xenoblastik; bila mineralnya didominasi oleh kristal berbentuk anhedral.

· Tekstur Berdasarkan Bentuk Mineral

o Lepidoblastik; bila mineral penyusunnya berbentuk tabular.

o Nematoblastik; bila mineral penyusunnya berbentuk prismatik.

o Granoblastik; bila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya sutured (tidak teratur) dan umumnya berbentuk anhedral.

o Granuloblastik; bila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya unsutured (lebih teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.

· Tekstur khusus yang umumnya akan tampak pada pengamatan petrografi :

o Porfiroblastik; terdapat beberapa mineral yang ukurannya lebih besar dari mineral lainnya. Kristal yang lebih besar tersebut sering disebut sebagai porphyroblasts.

o Poikiloblastik/sieve texture; tekstur porfiroblastik dengan porphyroblasts tampak melingkupi beberapa kristal yang lebih kecil.

o Mortar texture; fragmen mineral yang lebih besar terdapat pada massa dasar material yang berasal dari kristal yang sama yang terkena pemecahan (crushing).

o Decussate texture; tekstur kristaloblastik batuan polimineralik yang tidak menunjukkan keteraturan orientasi.

o Sacaroidal texture; tekstur yang kenampakannya seperti gula pasir.

v Berdasarkan jumlah tekstur yang dimilikinya, tekstur batuan metamorf dibagi menjadi dua, yaitu :

§ Homeoblastik; jika batuan metamorf tersebut hanya memiliki satu tekstur batuan.

§ Heteroblastik; jika batuan metamorf tersebut memiliki lebih dari satu jenis tekstur batuan.

Berbagai macam proses yang terjadi pada pembentukan batuan metamorf mempengaruhi rupa atau bentuk batuan itu. Salah satunya adalah tekstur. Tekstur pada batuan metamorf disebut dengan mineral metamorf yang terjadi karena kristalnya tumbuh dalam suasana padat oleh karena itu disebut dengan blastos atau blastik/idioblastik. Pada dasarnya tekstur pada batuan metamorf terbagi menjadi karena proses rekristalisasi yaitu perubahan butiran halus menjadi kasar dan proses reorientasi terbagi ke dalam skistositas atau foliansi terjadi oleh karena mineral yang pipih atau membentang tersusun dalam bidang-bidang tertentu yakni bidang sekistsis. Biang ini dapat searah dengan lapisan sedimen asalnya atau searah dengan sumbu lipatannya. Kristal yang ukurannya besar disebut profiroblastik.
Contohnya yaitu dalam golangan metamorf dinamik, tak jarang batuan mengalami hancuran yang fragmental sifatnya.
Gambar 5. Kuarsit, salah satu jenis batuan metamorf

Penelitian menunjukkan bahwa batuan metamorf (saat ini tersingkap di permukaan bumi akibat erosi dan pengangkatan) memberikan kita informasi yang sangat berharga mengenai suhu dan tekanan yang terjadi jauh di dalam permukaan bumi.Menurut struktur yang terbentuk, batuan metamorf dibagi menjadi 2, yaitu batuan metamorf foliasi dan batuan metamorf non foliasi. telah kita ketahui bahwa batuan metamorf itu terbentuk dari suatu proses penambahan temperatur dan suhu yang terjadi pada suatu batuan.Struktur batuan metamorf dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Struktur Foliasi

Struktur foliasi merupakan struktur yang memperlihatkan adanya suatu penjajaran mineral-mineral penyusun batuan metamorf. Struktur ini terdiri atas :

- Struktur Slatycleavage


<<<=== slate



- Struktur Gneissic


<<<=== Gneiss




- Struktur Phylitic


<<<=== Filit




- Struktur Schistosity


<<<=== Skiss



b. Struktur Non Foliasi

Struktur non foliasi merupakan struktur yang tidak memperlihatkan adanya penjajaran mineral penyusun batuan metamorf. Struktur ini terdiri atas :

- Struktur Hornfelsik

- Struktur Milonitik

- Struktur Kataklastik

- Struktur Flaser

- Struktur Pilonitik

- Struktur Augen

- Struktur Granulosa

- Struktur Liniasi

Jumat, 27 Maret 2009

SIKUEN STRATIGRAFI

SIKUEN STRATIGRAFI

Secara teori sikuen stratigrafi merupakan suatu metode pengendapan-pengendapan pada suatu cekungan sedimentasi, dan sikuen ini juga dapat diterapkan dalam suatu evaluasi eksplorasi hidrokarbon. Analisis stratigrafi sikuen memerlukan data yang menyeluruh dari berbagai disiplin ilmu geologi, termasuk biostratigrafi. Secara hipotesis, biostratigrafi (foraminifera) dapat dijadikan alat untuk mengidentifikasi sikuen. Studi kasus di daerah lintang rendah telah dilakukan dan beberapa parameter seperti asosiasi biofasies, bioevent, kelimpahan, serta keragaman dan komposisi fauna telah dicoba diterapkan untuk mencari pola atau karakteristik tertentu yang dapat dijadikan alat untuk mengidentifikasi sikuen. Peran biostratigrafi foraminifera sebagai alat dalam interpretasi sikuen tampaknya dipengaruhi oleh lingkungan tempat endapan sedimen ditemukan. Pada endapan laut dangkal, meskipun resolusi umur kurang baik, batas sikuen, komponen sikuen, dan beberapa horison dalam sikuen akan lebih dapat dikenali dari pola sebaran foraminiferanya sebaliknya, pada laut dalam, meskipun resolusi umur akan lebih baik, unsur lain kurang terlihat dengan baik, kecuali bidang condensed section yang berasosiasi dengan maximum flooding surface.

Salah satu contoh akibat pengaruhnya adalah ketidakselarasan, Ketidakselarasan adalah permukaan erosi atau non-deposisi yang memisahkan lapisan yang lebih muda dari yang lebih tua dan menggambarkan suatu rumpang waktu yang signifikan. Ketidakselarasan digolongkan berdasarkan hubungan struktur antar batuan yang ditumpangi dan yang menumpangi. Ia menjelaskan rumpang pada sikuen stratigrafi, yang merekam periode waktu yang tidak terlukiskan di kolom stratigrafi. Ketidakselarasan juga merekam perubahan penting pada satu lingkungan, mulai dari proses pengendapan menjadi non-deposisi dan/atau erosi, yang umumnya menggambarkan satu kejadian tektonik yang penting. Lihat tipe-tipe ketidakselarasan pada Gambar-gambar dibawah ini nantinya.

Pengenalan dan pemetaan sebuah ketidakselarasan merupakan langkah awal untuk memahami sejarah geologi suatu cekungan atau provinsi geologi. Ketidakselarasan diketahui dari singkapan, data sumur, dan data seismik yang digunakan sebagai batas sikuen pengendapan.

Tipe – tipe Ketidakselarasan

  1. Ketidakselarasan menyudut (angular unconformity)

Ketidakselarasan dimana lapisan yang lebih tua memiliki kemiringan yang berbeda (umumnya lebih curam) dibandingkan dengan lapisan yang lebih muda. Hubungan ini merupakan tanda yang paling jelas dari sebuah rumpang, karena ia mengimplikasikan lapisan yang lebih tua terdeformasi dan terpancung oleh erosi sebelum lapisan yang lebih muda diendapkan.

  1. Disconformity

Ketidakselarasan dimana lapisan yang berada di bagian atas dan bawah sejajar, namun terdapat bidang erosi yang memisahkan keduanya (umumnya berbentuk tidak rata dan tidak teratur).

  1. Paraconformity

Lapisan yang berada di atas dan di bawah bidang ketidakselarasan berhubungan secara sejajar/paralel dimana tidak terdapat bukti permukaan erosi, namun hanya bisa diketahui berdasarkan rumpang waktu batuan.

  1. Nonconformity

Ketidakselarasan yang terjadi ketika batuan sedimen menumpang di atas batuan kristalin (batuan metamof atau batuan beku).

Sedangkan, dalam penganalisaan stratigrafinya banyak mengunakan data yang menyeluruh dari berbagai disiplin ilmu geologi, termasuk diantaranya adalah biostratigrafi. Secara hipotesis dan hasil beberapa penelitian sebelumnya terlihat bahwa biostratigrafi dapat dijadikan alat untuk mengidentifikasi sikuen.

Suatu penelitian untuk mengetahui lebih lanjut hubungan biostratigrafi foraminifera dalam kaitannya dengan sikuen stratigrafi telah dilakukan di Cekungan Jawa Timur Utara (daerah lintang rendah). Penelitian dilakukan pada beberapa unit sikuen dan komponennya yang diendapkan pada daerah transisi/darat sampai laut dalam (batial atas) dengan umur Miosen Tengah sanmpai Pliosen Akhir.

Hasil penelititan menunjukan bahwa peran utama biostratigrafi foraminifera adalah dalam penentuan umur endapan laut serta interpretasi lingkungan pengendapannya. Peran biostratigrafi foraminifera sebagai alat dalam interpretasi sikuen terlihat dipengaruhi oleh lingkungan dimana endapan sedimen diketemukan. Pada endapan laut dangkal meskipun resolusi umur kurang baik tetapi batas sikuen, komponen sikuen dan beberapa horison dalam sikuen akan lebih dapat dikenali.

Sedangkan pada laut dalam meskipun resolusi umur akan lebih baik, tetapi unsur yang lain kurang terlihat dengan baik kecuali bidang condensed section yang berasosiasi dengan maximum flooding surface. Beberapa paramenter yang selama ini disebut sebagai ciri untuk mengenali horison seperti condensed section (nmisal: maksimum keragaman dan kelimpahan, zona oksigen minimal) tidak sepenuhnya bisa clijadikan patokan, hanya pada kondisi tertentu.